Sabtu, 14 Juni 2014

lensa ungu

 lensa ungu


Ku lihat dirinya yang berdiri di ujung lapang basket sana, dia yang memakai baju putih biru berkerudung paris. Kusapa namanya “Desi, Desi” ya itulah namanya. Dia menoleh pandangannya kepadaku, dan anehnya ketika dia merespon sapaanku dia hanya merespon “hay, siapa ya yang ada disana?” padahal aku dan desi hanya beberapa meter jauhnya, dan aku pun menghampiri desi yang masih berdiri kebingungan di ujung lapang basket.

 “desi, bercanda mulu deh. Aku Tia masa gak tahu sih” dan desi hanya tersenyum manis kepadaku tidak ada sepatah kata yang desi ucapkan kepadaku. “yaelah kamu malah senyum. Ya udah, Nisya dan Dini menunggu-mu di laboratorium, ngapain juga kamu di ujung lapang basket ini? Latihan LBB kan udah sel…” belum juga selesai berbicara desi memotong pembicaraanku “oh iya.. cairan untuk presentasi-nya ada di tas aku.

Sebuah botol bekas yang berisi cairan untuk praktek pun kini telah digenggam oleh desi, dan dia sanggat bersemangat untuk melakukan praktek IPA kali ini, dia terus mengajak aku untuk segera masuk ke ruang laboratorium. Dan sebelum sampai di laboratorium ternyata Nisya dan Dini sedang berada di luar laboratorium menunggu aku dan desi, “itu dia si Desi, Tia.. Desi.. cepetan, lama banget” kata dini sahabatku,

 dengan itu Desi semakin semangat menuju laboratorium saking semangatnya Desi tidak menyadari di hadapannya ada tempat sampah dan “Bruuuk” Desi terjatuh dan cairan yang ada di dalam botol itu pun jatuh dan terbuang. Aku pun segera menuju desi yang sedang duduk karena jatuh “Desi, kamu kenapa? Sudah jelas di hadapanmu ada tempat sampah, mengapa kamu menabraknya?” aku Nisya dan Dini pun membantu Desi berdiri, “ada apa sih des?” tanya Nisya kepada Desi

sikap untuk bangsaku

 sikap untuk bangsaku


Kini setelah mendapat pesetujuan dari keluarga. Ryan sekarang tercatat sebagai salah satu mahasiswa di universitas negeri terbaik di Jakarta Fakultas Hukum. Sejak dulu Ryan memang sudah memimpikan untuk bisa menyandang gelar sarjana hukum, sama seperti sahabatnya Arif yang sekarang juga mengambil jurusan hukum.

 Bedanya adalah Arif berada di bawah naungan salah satu Universitas terbaik di Inggris. Meskipun sekarang mereka terpisah oleh jarak yang cukup jauh, namun intensitas komunikasi mereka tetap berjalan terus. Maklumlah, kedua orang ini memang sudah begitu dekat sejak kecil. Namun kali ini mereka harus terpisah sejenak untuk mimpi mereka masing-masing.

Setiap hari, Ryan menjalani rutinitas perkuliahan yang begitu padat. Panas Ibukota yang selalu sama dan tak bisa diajak kompromi itu, serta macetnya jalan tak membuat Ryan untuk mengeluh mengendarai sepeda motornya menuju kampus. Kali ini dia berangkat berboncengan dengan salah satu kerabat kelasnya Adit

. Anak muda seperti Ryan dan Adit memang sedang asyik-asyiknya kuliah. Apalagi Ryan terbilang aktif mengikuti kegiatan dan banyak mengikuti organisasi di kampus. Namun Ryan begitu senang, karena memang untuk itulah kita hidup, untuk berkarya. Kita masih muda kawan.
Lampu merah, dan sebagai pengendara yang baik, Ryan mematuhi aturan yang ada.

 Dia tak mau hanya karena memburu waktu untuk segera tiba ke kampus harus melanggar aturan yang ada, mungkin saja dia tidak akan rugi karena bisa segera tiba dengan cepat. Tapi resikonya adalah dia bisa merugikan pengendara yang lain akibat ulahnya itu. Hal yang besar pada dasarnya bermula dari pelanggaran kecil.
“Mas, minta uangnya mas” seorang anak kecil tiba-tiba datang menghampiri Ryan dengan tatapan dan suara memelas. Hal itu membuatnya miris. Namun tak ada balasan dari sapaan anak kecil itu. Ryan hanya melambaikan tangan kosong. Sebuah isyarat bahwa dia tidak akan memberikan apa-apa dan menyuruhnya segera pergi.
“Ryan, beri uang seribuan aja, kasihan” suara Adit tampak menyuruh dari belakang.
“Aku bukannya anti beramal dit, tapi ini masalah ideologi dan karakter bangsa kita kelak. Untuk memberikan uang pada pengamen terkhusus kepada anak-anak kecil di jalanan seperti itu adalah sebuah kesalahan. Dengan mudahnya kita memberikan uang, mereka akan mengira mencari uang itu adalah hal yang gampang dan tidak perlu perjuangan. Cukup minta sana-sini, maka uang akan muncul sendiri. Jika mental itu terbawa sampai mereka dewasa, bukankah negeri ini akan semakin terpuruk?” jawab Ryan dengan lantang sambil meneruskan perjalanan mereka.
“Iya benar sih. Makin miris juga setiap hari melihat makin banyak anak-anak yang mengemis di jalanan”

perjuangan hidupku dalam menuntut ilmu

 perjuangan hidupku dalam menuntut ilmu

Perkenalkan nama saya supardin, biasa disapa adin saya anak pertama dari lima bersaudara. Saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana, walaupun demikian saya memiliki motivasi yang sangat besar dalam hal dunia pendidikan. perjuangan saya bisa dikatakan sangat ekstrim, dan penuh tantangan bukan berati perjuangan saya menjadi pupus, justru hal tersebut yang membuat saya kian semangat.
 .
Seiring berjalanya waktu dan usiaku pun kian bertambah, kini aku berumur 7 tahun tentu di umur seperti itu sudah selayaknya aku harus mulai masuk dunia pendidikan sekolah dasar, melihat kehidupan keluarga yang kian memburuk membuat ku kian giat menuntut ilmu. Demi satu tujuan yaitu ingin membahagiakan ibu ku.

Waktu terus bergulir dan kini aku pun naik ke kelas dua sekolah dasar. Tentu biaya kian tahun makin bertambah, maklum pada saat itu belum ada program wajib belajar Sembilan tahun. ibu ku pun kian semakin kesulitan untuk membiayaiku. Bahkan sempat terdengar di telingaku perkataan ibu ku yang menginginkan agar aku berhenti sekolah, karena tak sanggup lagi dengan biaya yang semakin bertambah, hal terebut tentu membuatku kian terpukul.

Senada ibu pun mngatakan “Nak… maafkan ketidaksanggupan ibu dalam mengurus kamu, ibu rasa perjuangan mu untuk menimba ilmu cukup sampai disini, ibu tidak memiliki apa-apa sekarang. Jadi maafkan ibu” Mendengar hal tersebut membuat ku terhenyak sejenak, terlintas di pikiran ku akankah semua ini akan berakhir.

padamu wanita indonesia

 padamu wanita indonesia

Hari ini aku dan kawanku Fadyta berkunjung ke salah satu desa di Kabupatenku, Kabupaten Banjarawi. Disana kami telah merencanakan apa yang akan kami lakukan sesuai perintah Pak Fajar Arif, wali kelasku. Pak Fajar memerintahkan aku dan teman-teman sekelasku untuk berkunjung ke Desa Kartini di Kabupaten Banjarawi.

 Disana, kami ditugaskan untuk mewawancarai seseorang yang kami anggap sebagai wanita yang istimewa di desa itu. Maklum, kata Pak Fajar disana banyak wanita yang istimewa yang tegar dan sangat bijaksana.Oh iya, perkenalkan, namaku Akyas Az-Zahra, panggil saja aku Zahra atau Kyas. Setelah bertanya kepada beberapa orang di desa itu, aku dan Dyta akhirnya menemukan seorang wanita yang menurut warga desa beliau sangat ramah dan bijaksana.

 Langsung saja aku dan Dyta menghampiri rumah yang sudah disebutkan ciri-cirinya oleh seorang warga. Tok… tok… tok… Suara ketukan pintu membuat wanita 43 tahun yang tengah membaca koran sontak meninggalkan bacaanya dan langsung membuka pintu untuk kami. Setelah pintu dibuka dan kami dipersilahkan masuk oleh ibu Sartika, atau panggil saja beliau ibu Tika, kami langsung memperkenalkan diri dan memberi tahu maksud kedatangan kami ke rumah ibu Tika

. Setelah perkenalan, kami mencetuskan beberapa pertanyaan untuk ibu Tika. Jawaban ibu Tika membuat kami kagum dan terharu mendengarnya.Ibu Tika dulunya hanya anak buruh tani yang miskin. Tetapi, beliau terus bersemangat untuk menggapai cita-citanya. Maka dari itu, beliau rajin belajar hingga sampai di SMA beliau tidak pernah membebani kedua orangtuanya untuk membiayai bersekolah.

soal uas

soal uas


Terlihat ada kerumunan siswa siswa di depan ruang guru SMP Ricci pagi ini. Mereka terlihat mencoba mengintip ke dalam ruang guru untuk melihat apa yang sedang terjadi. Alex yang baru datang melihat kerumunan tersebut dan bertanya kepada dua temannya, Chiara dan Nicole. “Hei, apa apaan nih? Kok pada ngumpul depan ruang guru?” ia bertanya. “Eh elo, Lex. Itu tuh..

 katanya ada anak yang ketauan menjual soal UAS!” Nicole menjawab. “Iya tuh. Tapi masih belum ketauan siapa aja yang udah beli. Dia lagi diinterogasi di dalem. Makanya rame.” Chiara menambahi. Alex terpaku. Keringat mulai bercucuran dan tangannya menggenggam erat tali tasnya. “Ng? Lo kenapa? Lu gak jadi beli soal ulangan itu kan?” Chiara bertanya. “Eh? E-enggak kok. Udah ya!” Lalu ia berlari meninggalkan dua anak perempuan itu kebingungan.

Sampai di kelas, ia melihat teman-temannya sudah berkumpul sambil ngobrol-ngobrol. Dengan cepat ia menaruh tasnya dan menghampiri mereka “Eh, Alex! Sini sini!” Rama memanggilnya. “Katanya, anak yang jual soal UAS ketangkep ya?” Ia dengan hati-hati bertanya. “Iya tuh, untung gue kagak jadi beli. Bisa kena masalah gue!” Kevin menghela napas lega sementara Alex menjadi semakin
 tegang dan bel masuk pun berbunyi.

Sepanjang pelajaran, Alex tidak bisa konsentrasi. Ia terus memikirkan tentang kejadian ditangkapnya anak yang menjual soal UAS tersebut sampai ia tidak mendengar teman-temannya memanggil. “Lex! Alex! Woy! Ke kantin yuk. Bengong aja!”Sesampainya di kantin, Chiara dan Nicole sudah terlihat duduk dan mengobrol.

bersamamu ku gantungkan mimpi

 Bersamamu ku gantungkan mimpi


Malam sudah sangat larut, semilir angin di luar sana pun telah memainkan senandung tidur, agar mata mata yang lelah seharian terlelap di peristirahatannya. Hingga kota ini sunyi seperti kota tanpa penghuni. Tapi kenapa tidak denganku? Dua kelereng hitam ini masih saja bergelinding kesana kemari padahal sedikitpun aku tak menjentiknya. Telah aku coba memejamkannya tapi tetap tak bisa,

kelopak mataku seolah ada benda kecil yang menahan agar dia tetap kembali terbuka.
Kegelisahan inilah yang mengatur otakku, untuk tidak mengirim pesan istirahat ke mataku. Kegelisahan ini juga menghentakkan hati ku menjadi sebuah pemikiran hinggaku dihinggapi insomnia akut malam ini. Duduk, berdiri telah ku lakukan sekian kali tapi tetap tak menenangkanku.

Mataku mencari apa saja yang dapat membawaku ke alam bawah sadarku. Hingga akhirnya mata ku berhenti tepat pada sebuah tulisan di atas tempat tidur. Bermimpilah! Maka Allah akan memeluk mimpi-mimpimu. Bukankah Dia mengisyaratkan dalam firman-Nya: “berdo’alah, maka Aku akan mengabulkannya”

Ku pandangi lagi, ku baca satu persatu kata. Tepat di bawah kata tersebut tertata rapi tulisan tentang mimpi mimpiku yang ditulis berurutan nomor. Ada coretan merah pada beberapa nomor, itu pertanda bahwa mimpi itu telah terjadi, terus ku baca dan tepat di nomor 33 air mata ku berlinang. Bukan karena angka itu ganjil atau angka itu aneh tapi karena di sana tertulis sebuah mimpi besarku.

UJian Nasional,dilema sang guru

 UJian nasional,dilema sang guru

Di luar terdengar lagu dangdut murahan dibunyikan keras-keras. Sedangkan aku.. aku menjejalkan lagu korea ke telingaku. Bukan tidak mencintai karya negeri sendiri. Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan akan jatuh kemana. Hari-hari sudah cukup menekan disini tanpa lagu-lagu dangdut itu. Sedikit pelepas ketegangan hanya itu yang aku butuhkan. Alunan lembut suara IU… sejenak… bisa membuatku melupakan badai yang sedang berkecamuk di hati, pikiran dan tubuhku.

Entah kemana idealisme itu sudah kulemparkan. Mungkin seperti batu hitam yang jatuh ke laut dalam atau seperti bumerang milik suku Aborigin yang kini sedang berbalik menyerangku. Yang kulakukan adalah pengkhianatan. Bukan terhadap orang lain, tapi terhadap diriku sendiri. Apakah rupiah itu? Atau memang kelemahan yang sudah lama ada bahkan sebelum idealisme ku menemukan namanya.

Hanya karena permintaan menghiba dari seorang kepala sekolah yang juga menjadi korban sistem kemunafikan dalam lembaga pendidikan yang seharusnya didirikan untuk menjadi wadah perubahan dan pencetak para cendikia.“Tolong lah… Bu. Anak-anak kita tak akan bisa lulus jika mereka harus mengerjakan soal itu sendiri”,

“Kasihan mereka Bu, sebagai guru, inilah yang kita bisa berikan bagi mereka”.
Ya. Satu pertolongan terakhir bagi anak-anak pulau yang lebih gemar bermain dan melaut ketimbang belajar. Toh, mereka semua akan lulus juga. Lihatlah lah coreng moreng itu sekarang. Di tempat ini, mereka malah dibimbing untuk berlaku curang. Salahkah anak-anak itu jika moral mereka terus terdegradasi, di tempat etika seharusnya berlaku mutlak, mereka malah menemukan pelecehan terhadap etika moral dan kejujuran diinjak blak-blakan.

Nasehat ayah

 Nasehat ayah


Aku adalah siswi kelas XI di SMPN 121 JAKARTA UTARA. Aku mempunyai cita-cita yang tinggi. Aku bercita-cita ingin menjadi seorang guru bahasa indonesia, karena aku sangat menyukai pelajaran di bidang sastra dan bahasa. Setelah lulus SMP nanti, aku sangat ingin melanjutlan ke SMAN 75,
 tetapi orangtua ku tidak mendukung niat ku ini.

 Saat di rumah, aku dan keluargaku sedang berkumpul di ruang tamu, ayahku mengawali percakapan dengan menanyakan nilai rapot bayangan ku yang sudah dibagikan.
“Nak bagaimana dengan nilai rapotmu? Apakah kamu puas dengan nilai rapotmu?” tanya ayah kepada ku.“Alhamdulillah, Yah! Nilai rapotku lumayan bagus, hanya 2 mata pelajaran yang dibawah KKM” kata ku.

“Dan aku sudah cukup puas dengan nilai rapotku. Bagaimana dengan Ayah? Apa Ayah puas dengan nilai rapotku?” kata ku lagi.
“iya Nak, Ayah juga sudah puas dengan hasil belajarmu. Pesan Ayah! Agar kamu rajin belajar lagi, supaya nanti bisa masuk SMA Negeri.” kata Ayah dengan nada menasihati.
“iya Yah, aku juga inginnya seperti itu. Aku ingin masuk ke SMAN 75 kalau lulus SMP nanti.” kata ku sambil menjelaskan.

Saat aku berbicara seperti itu, sepertinya ada rasa kecewa di raut wajah Ayah. Aku jadi merasa bersalah. Suasana pun hening sejenak. Ibu ku datang membawakan minum untuk Ayah.
“ini Yah, diminum dulu tehnya” kata Ibu sambil menyodorkan secangkir teh kepada Ayah.
“Terima kasih ya bu” kata Ayah sambil mengambil teh yang Ibu berikan.
Setelah itu, Ibu duduk di samping Ayah, dan ikut mengintrogasiku.

Tak Ada Mawar Yang Tak Berduri

 tak ada mawar yang tak berduri

Ketika itu Silvy sedang merenungi nasibnya yang selalu buruk. Ia memang mempunyai hobby melamun, dan merenungi kejadian yang sudah dilaluinya. Saat itu Silvy sedang berada di tepi danau dekat rumahnya. Rupanya ia melamun bahwa dirinya mempunyai cita-cita mulia menjadi seorang guru teladan. Silvy memang mempunyai impian tersebut sejak kecil.

(Dalam lamunannya, Silvy sedang mengajar di sebuah sekolah SMPN ternama di kota. Kala itu ia kebingungan melihat murid kesayangannya tidak masuk sekolah. Sepulang mengajar, ia menemui murid tersebut. Namun tak disangka, di tengah perjalanan ia bertatap muka dengan seorang lelaki dan berkenalan dengannya. Raka, itulah namanya.)

Tak lama kemudian, Silvy terbangun dari lamunannya akibat teriakan adiknya yang bernama Syila.
“Kak Silvy!!! Dipanggil ibu tuh!!!” teriak Syila
“Ya, Dik!” jawab Silvy Suatu ketika Silvy pun sudah lulus SMA.
  Namun ia bingung memilih akan meneruskan ke Universitas ataukah putus sekolah sampai jenjang menengah atas. karena, kedua orangtuanya sudah tak mampu lagi.

Dikarenakan Silvy adalah siswi yang tergolong pandai, maka, biaya untuk melanjutkan ke universitas ditanggung oleh pemerintah. akhirnya terlaksanalah impian Silvy untuk menimba ilmu menjadi seorang mahasiswi.
Ketika jenjang semester 4 masih dalam separuh perjalanan, beasiswa untuk Silvy terputus entah kemana.