Sabtu, 14 Juni 2014

UJian Nasional,dilema sang guru

 UJian nasional,dilema sang guru

Di luar terdengar lagu dangdut murahan dibunyikan keras-keras. Sedangkan aku.. aku menjejalkan lagu korea ke telingaku. Bukan tidak mencintai karya negeri sendiri. Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan akan jatuh kemana. Hari-hari sudah cukup menekan disini tanpa lagu-lagu dangdut itu. Sedikit pelepas ketegangan hanya itu yang aku butuhkan. Alunan lembut suara IU… sejenak… bisa membuatku melupakan badai yang sedang berkecamuk di hati, pikiran dan tubuhku.

Entah kemana idealisme itu sudah kulemparkan. Mungkin seperti batu hitam yang jatuh ke laut dalam atau seperti bumerang milik suku Aborigin yang kini sedang berbalik menyerangku. Yang kulakukan adalah pengkhianatan. Bukan terhadap orang lain, tapi terhadap diriku sendiri. Apakah rupiah itu? Atau memang kelemahan yang sudah lama ada bahkan sebelum idealisme ku menemukan namanya.

Hanya karena permintaan menghiba dari seorang kepala sekolah yang juga menjadi korban sistem kemunafikan dalam lembaga pendidikan yang seharusnya didirikan untuk menjadi wadah perubahan dan pencetak para cendikia.“Tolong lah… Bu. Anak-anak kita tak akan bisa lulus jika mereka harus mengerjakan soal itu sendiri”,

“Kasihan mereka Bu, sebagai guru, inilah yang kita bisa berikan bagi mereka”.
Ya. Satu pertolongan terakhir bagi anak-anak pulau yang lebih gemar bermain dan melaut ketimbang belajar. Toh, mereka semua akan lulus juga. Lihatlah lah coreng moreng itu sekarang. Di tempat ini, mereka malah dibimbing untuk berlaku curang. Salahkah anak-anak itu jika moral mereka terus terdegradasi, di tempat etika seharusnya berlaku mutlak, mereka malah menemukan pelecehan terhadap etika moral dan kejujuran diinjak blak-blakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar